Jumat, 04 Juli 2014
Rabu, 02 Juli 2014
MAKALAH ANALISI NAPZA (MORFIN)
ANALISIS NAPZA
MORFIN
KELOMPOK
5
ATRI
AKADEMI
ANALISIS KESEHATAN
SANDI
KARSA
MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan limpahan rahmatnya lah maka penulis dapat menyelesaikan TUGAS
berjudul “ANALISIS NAPZA MORFIN” ini dengan tepat waktu untuk memenuhi tugas
dari MUIS PATTA selaku dosen mata kuliah TOXICOLOGI.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf
dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada
tulisan yang kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu penulis mengundang pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kemajuan ilmu
pengetahuan.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Tuhan memberkati makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
makassar,
13 juni 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan
(Undang-Undang No. 22 tahun 1997). Yang termasuk jenis narkotika adalah tanaman papaver,
opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), opium obat, morfina,
kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja. Disamping itu, Garam-garam dan
turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta campuran-campuran dan
sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas juga termasuk narkotika.
Rangsang yang
menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan pada jaringan, atau gangguan metabolism
jaringan. Hal ini mengakibatkan perubahan pada konsentrasi local ion (penurunan
pH harga jaringan, peningkatan konsentrasi ion kalium ekstrasel) maupun
pembebasan senyawa mediator. Sebagai akibatnya, reseptor nyeri (nosiseptor)
yang terdapat dikulit, di dalam jaringan yang lebih dalam letaknya (otot
kerangka, jaringan ikat, selaput tulang) dan di organ viseral jeraon,
terangsang. Tergantung pada letaknya, dibedakan antara nyeri, permukaan, nyeri
yang dalam dan nyeri viseral, yang
secara kualitatif dialami dengan cara yang berbeda. Dari reseptor, nyeri
dikondusikan sebagai impuls listrik yang bersusulan (potensial aksi) melalui
urat saraf sensorik (urat saraf nyeri) ke sumsum tulang belakang dan akhirnya
melalui otak tengah (telamus) ke sinusoid pusat posterior dari otak besar, di
mana terjadi kesadaran akan nyeri.
Seperti
yang ditulis di atas, narkotika jenis opium merupakan salah satu obat yang
dapat menghilangkan rasa nyeri. Kesadaran akan nyeri mungkin tetap ada atau
berkurang, tetapi kemampuan untuk menafsirkan, menggabungkan, dan beraksi
terhadap nyeri menurun karena adanya sedasi, eufori, dan penurunan keresahan
dan penderitaan. Efek lain satu-satunya yang berguna terhadap SSP adalah
penekanan batuk. Secara perifer, pengurangan gerak-dorong usus berguna untuk
mengendalikan diare, jika tidak, terjadi sembelit sebagai efek samping umum.
Diantara kumpulan reaksi yang merugikan, yang paling penting dalam membatasi
kegunaannya adalah toleransi melalui sentral, ketergantungan, dan depresi
pernapasan, yang menjadi penyebab kematian pada pemberian yang lewat-dosis.
Oleh karena itu, melalui makalah ini akan dijelaskan ruang lingkup salah satu
jenis narkotika yaitu opium, terutama morfin sebagai agen aktif utama dalam
opium.
2.
Rumusan
Masalah
Adapun masalah yang dibahas pada makalah ini yaitu
sebagai berikut sebagai berikut:
1. Zat
aktif apakah yang terkandung dalam opium?
2. Bagaimana
struktur dan sifat dari zat aktif tersebut?
3. Bagaimana
aturan penggunaannya ?
4. Apa
efek dari obat tersebut?
5. Bagaimana
proses biotransformasi dari obat tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
Penggunaan
obat yang tidak berdasarkan indikasi medis, tidak mengindahkan petunjuk
penggunaan yang ada pada kemasan atau petunjuk dokter adalah termasuk
penyalahgunaan obat-obatan. Dengan makin meningkatnya jenis obat yang tersedia
dan beredar bebas, maka makin meningkat pula kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan obat. Morfin termasuk golongan narkotika yang merupakan salah
satu jenis obat yang sering disalahgunakan (Sujudi, 1995). Struktur senyawa
morfin seperti Gambar 1 berikut: (Lowry, 1979 )
Perdagangan gelap narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) telah merambat kepada jutaan orang baik
dinegara yang maju maupun sedang berkembang. Dampak negative yang ditimbulkan
yaitu mengancam kalangan generasi muda misalnya retardasi kemampuan otak,
ketergantungan psikis dan fisik. Tahun 1990, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan ada 180 juta
orang di seluruh dunia sebagai pengguna
obat-obatan terlarang kurang lebih 4,2% umurnya di atas 15 tahun. Di Indonesia terjadi peningkatan penyalahgunaan morfin
dari 3,652 menjadi 5,008 selama periode 1997-1998. Di Bali juga terjadi
peningkatan dari 256 menjadi 271 (Anonim, 2002). Peningkatan penyalahgunaan
obat terlarang di Bali khususnya dan Indonesia umumnya, sudah mengancam
kehidupan baik perorangan maupun masyarakat luas.
Dalam mengembangkan metode analisis obat
selalu diusahakan untuk memperoleh metode-metode yang sensitif, tepat, teliti, cepat,
dan murah. Beberapa contoh metode analisis obat obatan antara lain adalah enzyme
multiplied immunoassay (/EMIT), radio
immunoassay (RIA), thin layer chromatography (TLC), gas liquid
chromatography (GLC/GC), high performance liquid chromatography (HPLC),
dan gas chromatography-massspectrometr (/GC-MS) (WHO, 1988). Masing-masing
metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa senyawa narkotika tidak berhasil
dipisahkan dengan kromatografi cair. Analisis morfin dengan kromatografi
gas-cair seperti GC dan GC-MS dapat dilakukan dengan syarat senyawanya harus
mudah menguap (volatile) (Moffat, 2002). Ternyata juga bahwa deteksi senyawa-senyawa
tersebut secara spektrofotometri tidak dapat dilakukan pada satu panjang
gelombang yang sama. Untuk itu kromatografi lapis tipis (KLT) sangat
memungkinkan untuk analisis kualitatif sekaligus analisis kuantitatif dengan
spektrofotodensitometer. Disamping itu juga senyawa hasil analisis setelah dengan
KLT maupun spektrofotodensitometer dapat di simpan, diulang untuk analisis
selanjutnya dan juga untuk analisis beberapa sampel sekaligus. Oleh karena itu diperlukan
perbandingan campuran larutan pengembang yang sesuai agar diperoleh pemisahan yang optimum dalam analisis dengan Kromatografi lapis tipis sebelum dengan spektrofotodensitometrI
1. Zat Aktif Obat
Opium atau opium berasal dari kata opium, jus dari bunga
opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium,
termasuk morfin. Nama Opium juga digunakan untuk opium, yaitu suatu preparat
atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opium
tetapi tidak didapatkan dari opium. opium alami lain atau opium yang disintesis
dari opium alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine),
dan hydromorphone (Dilaudid).
Morfin adalah alkaloid analgesik yang
sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium.Umumnya
opium mengandung 10% morfin. Kata "morfin" berasal dari
Morpheus, dewa mimpi dalam mitologi Yunani.
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin
merupakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3
) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam
bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.
Adapun gambar morfin bentuk tepung yaitu sebagai berikut :
2.
Struktur
dan Sifat Obat
Struktur yang tepat untuk alkaloid ini dikemukakan oleh
Gulland dan Robinson pada tahun 1925. Zat tersebut adalah senyawa pentasiklik
dengan atom dan cincin yang diberi nomor dan huruf seperti yang diperlihatkan
di bawah ini ;
Morfin mempunyai lima pusat
asimetrik (karbon 5,6,9,13, dan 14), tetapi hanya 16 (8 pasangan rasemik
diastereoisomer) dan bukan 32 (25) isomer yang mungkin, karena atom 10 dan 12
harus cis, jadi 1,3-diaksial,
dibandingkan terhadap cincin piperidin (D). Stereokimia relatif pada kelima
pusat itu direduksi secara tepat oleh Stork pada tahun 1952. Peristilahan
klasik (misalnya morfin, kodein) digantikan oleh tatanama sistemik yang
didasrkan pada inti morfinan dengan mempertahankan sistem penomoran fenantren.
Jadi morfin sekarang disebut (Cemical
Abstract) 17-metil-7,8-didehidro-4,5α-epoksimorfinan-3,6α-diol ; dimana α
menunjukan orientasi trans terhadap
jembatan 15, 16, 17 yang berhubungan dengan sistem cincin ABC.
Sintesis total morfin
pertama kali dipaparkan oleh Gates dan Tsehudi (1952-1956) dan oleh Elad dan
Ginsburg (1954). Hal ini menegaskan hipotesisRobinson-Stork. Beberapa sintesi
lain yang baik menyusul tetapi tak satu pun sintesis total dapat bersaing
secara dagang dengan hasil sumber alami. Pembuktian langsung tentang
stereokimia relatif pada karbon 5,6,9
dan 13 diberikan oleh Rapoport (1950-1953) perincian terakhir, C (14),
diberikan pada tahun 1955 melalui telaah difraksi sinar-X Kristal tunggal
tentang garam morfin yang dilaporkan oleh MacKay dan Hodgkin. Telaah ini
memberika juga gambar konformasilengkap pertama untuk molekul morfin.
Konfigurasi absolut ditetapkan pada tahun yang sama oleh Kalvoda dan
rekan-rekannya melalui penguraiantebain secara kimia menjadi senyawa menjadi
senyawa yang lebih sederhana yang konfigurasi absolutnya diketahui. Konfigurasi
absolut untuk (-)-morfin yang terdapat di alam adalah seperti yang
diperlihatkan. Citra cerminnya, (+)-morfin, tidak mempunyai aktivitas
analgesic. Morfin dan semua senyawa sejenisnya yang aktif adalah basa organik
(amin) dengan pKa yang berkisar antara kira-kira 8,5 sampai 9,5. Jadi, padapH
fisiologis (7,4) sekitar 97 sampai 99 % terprotonasi. Basa bebas sangat sukar
larut dalam air, tetapi pada umumnya, garamnya yang sangat baik larut dalam
air. Basa yang tak terion yang ada dalam keseimbangan dengan membentuk (ion)
yang terprotonasi dianggap sebagai jenis yang menembus hambatan lipoid darah
otak. Secara luas diterima bahwa opium berinteraksi dengan reseptor dalam
bentuk ion.
Sifat, reaksi morfin
sebagai alkaloid bersifat basa karena mengandung gugus amin tersier (pKa ≈ 8,1)
dan membentuk garam berbentuk Kristal dengan sederetan asam. Yang digunakan
adalah garam hidroksida yang mengandung tiga molekul air Kristal ( morfin
hidroksida pH, Eur). Berdasarkan gugus hidroksil fenolnya morfin juga bersifat
asam ( pKa = 9,9) dan bereaksi dengan alkalihidroksida membentuk fenolat,
tetapi tidak bereaksi dengan larutan ammonia. Titik isolistrik terletak pada pH
9. Morfin yang terdapat dalam alam memutar bidang polarisasi ke kiri.
3.
Aturan
Penggunaan dan Efek Obat
Morfin
digunakan untuk menghambat nyeri yang paling kuat. Dosis analgetik pada
penggunan yang diutamakan, yaitu subkutan, adalah 10 mg. pada dosis kecil sudah
terjadi peredaan rangsang batuk melalui peredaman pusat batuk (kerja
antitusif). Pusat respirasi juga dihambat (kerjadepresi pada respirasi). Hal
ini terlihat dalam rentang dosis terapi dan pada dosis yang lebih tinggi,
akhirnya menyebabkan kelumpuhan pernapasan. Efek selanjutnya, yang menyangkut
SSP yaitu sedasi dan pada sebagian pasien euphoria. Bertalian erat dengan ini,
ada kemungkinan untuk mengembangkan keterangan pada morfin (ketergantungan
psikis dan fisik yang kuat, pengembangan toleransi dan dorongan untuk menaikkan
dosis). Selain itu, morfin juga mempunyai sifat merangsang secra sentral. Hal
ini merupakan hasil dari sergapan pada bagian sentral parasimpatikus dan antara
lain diwujudkan sebagai miosis. Kerja stimulasi kerja dari analgetika jenis
morfin, dapat diamati secara khas pada menchit, melalui penegakan ekor dalam
bentuk S yang khas gejalan ekor dari straub. Termasuk sebagai kerja parifer
morfin adalah peningkatan tonus otot polos, yang mengakibatkan obstipasi
spastik. Sebaliknya, opium yang dapat digunakan untuk meredakan usus,
menyebabkan obstipasi otonik karena mengandung papaverin.
Morfin bekerja langsung pada sistem
saraf pusat untuk menghilangkan sakit. Efek samping morfin antara lain adalah
penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfin
juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi. Morfin
menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien morfin
juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk.
Dalam pengobatan klinis, morfin dianggap sebagai standar
emas, atau patokan, dari analgesik digunakan untuk meringankan penderitaan
berat atau sakit dan penderitaan . Seperti opium lain, misalnya oksikodon
(OxyContin, Percocet, Percodan), hidromorfon (Dilaudid, Palladone), dan
diacetylmorphine ( heroin ), morfin langsung mempengaruhi pada sistem saraf
pusat (SSP) untuk meringankan rasa sakit . Morfin memiliki potensi tinggi untuk
kecanduan , toleransi dan psikologis ketergantungan berkembang dengan cepat,
meskipun Fisiologis ketergantungan mungkin membutuhkan beberapa bulan untuk
berkembang.
Efek samping yang ditimbulkan ; Mengalami pelambatan dan
kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami
kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan
hepatitis dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan
hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena
overdosis.
4.
Biotransformasi
Biotransformasi
morfin diekskresikan terutama dalam bentuk terkonyugasi. Yang dominan dalam hal
ini yaitu 3-0-glukuronida. N-demetilasi kurang penting. Metabolit utama kodein
ialah 6-0-glukuronida. Selain itu terjadi N- dan 0-demetilasi, dimana terbentuk
norkodein dan morfin. Produk demitilasi sebagaian diekskresikan sebagai
konyugat. Sintesis karena suatu sintesis total morfin dari segi teknis tidak
memungkinkan, karena diarahkan pada penamaan papaver somniferum. Opium kasar
yang diperoleh mengandung lebih kurang 7 sampai 21 % morfin, terutama sebagai
mekonat (garam dari asam mekonat) atau sebagai laktat. Opium DAB 8 mengandung
10 % morfin, sedangkan tingtur opium DAB 8 mengandung 1 % morfin.
MATERI
DAN METODE
Bahan
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari asam fosfat, eter, amonia, kloroform, asam hidroklorida,
etil asetat,isopropanol, toluena, metanol, natrium hidroksida, aseton, dan
etanol. Baku morfin diperoleh dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM).
Sampel simulasi dibuat dari urin yang ditambah 30 ng morfin 5g/mL.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi:
alat-alat
gelas, timbangan analitik (Chyo MP 3000), micro syringe 100 mL, Camag linomat IV, pH-meter (Hanna), Spektrofotodensitometer
Shimadzu dual- wavelength chromatogram scanning
model CS-9000), Sonikator (Bronson 1200), oven (Fisher Vacum Oven), Sentrifuga
(Janetski TS) dan Autoclave (Hirayana).
Cara Kerja
Larutan baku morfin 5 g/mL, dibuat dengan
cara menimbang 0,5656 g morfin hidroklorida dilarutkan dengan aquades sampai
100,0 mL. Selanjutnya larutan morfin 5 g/mL, ditotolkan berturut- turut
4,8,12,16,20, 24 dan 28 L pada pelat kromatografi lapis tipis silica gel GF 254siap
pakai. Sehingga diperoleh jumlah penotolan
larutan morfin berturut-turut 20,
40, 60, 80, 100, 120, dan 140 ng. Selanjutnya pelat dikembangkan ke dalam bejana yang telah
dijenuhkan dengan campuran larutan
pengembang toluene-aseton-etanol-amonia dengan perbandingan 45 : 45 : 7
: 3. Saat pengembang telah mencapai
tanda batas pelat diangkat dan dikeringkan. Bercak diamati dengan spektrofotodensitometer. Masing-masing
noda diukur luasnya dengan spektrofoto-densitometer
pada panjang gelombang maksimum (maks) 287 nm (Moffat, 2002;Rokus, 1992).
Setelah sampel urin simulasi
diekstraksi dengan pelarut terpilih, selanjutnya dianalisis dengan KLT-spektrofotodensitometer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Campuran larutan pengembang yang dicoba
adalah kloroform-metanol (9:1), etil asetat-metanol ammonia (85:10:5), dan toluena-aseton-etanol-amonia
( 45:45:7:3 ). Pelarut untuk ekstraksi sampel urin simulasi yang telah
dilakukan adalah etil asetat-isopropanol
(9:1), kloroform-isopropanol
(3:1), dan kloroform.
Larutan pengembang dipilih toluene :
aseton : etanol:amonia dan pelarut pengekstraksi dipilih etilasetat-isopropanol
ke dalam 5 mL sample urin ditambahkan asam
fosfat sampai pH 3, kemudian diekstraksi dengan 2x15 mL eter. Ke dalam
lapisan air ditambahkan ammonia sampai pH 8 dan diekstraksi dengan 2x5 mL
kloroform. Lapisan air berikutnya
ditambah asam klorida pekat sampai pH 3, kemudian dipanaskan 100°C selama 30
menit. Setelah larutan didinginkan kemudian diekstraksi kembali dengan 2x5 mL eter. Lapisan
air hasil ekstraksi ditambah NaOH sampai pH 9, lalu diekstraksi dengan
etilasetat-isopropanol (9:1). Lapisan organik hasil ekstraksi diuapkan sampai kering
kemudian ditambah 5 mL metanol.
Kurva kalibrasi ditentukan dengan perhitungan
luas puncak yang dihasilkan dari
penotolan baku morfin dengan konsentrasi 5 g/mL pada satu seri jumlah
baku morfin 20,40,60,80,100,120, dan 140
ng pada panjang gelombang maksimum 287 nm.
Data luas puncak baku morfin adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut
ini.
label 1.
Data jumlah yang ditotolkan versus Luas puncak morfin
Jumlah ( ng
) luas
puncak
|
|
20
40
60
80
100
120
140
|
101,3
227,4
477,4
512,7
718,5
948,2
1045,6
|
Grafik hubungan jumlah morfin yang ditotolkan versus luas puncak morfin sebagai berikut:
Berdasarkan perhitungan diperoleh
persamaan garis regresi y = -69,21 + 8,06 x, dengan koefisien korelasi (r)
sebesar 0,992. yang diperoleh dari metode ekstraksi morfin dalam sampel urin
yang optimum dengan etilasetat-isopropanol. Penggunaan kloroform untuk
mengekstraksi morfin ternyata kurang baik, mengingat kelarutan etilasetat dalam
air adalah 1: 15 sedangkan kelarutan kloroform dalam air adalah 1: 200 (Lowry,
1979) . Berdasarkan sifat kelarutan tersebut
di atas dapat dikatakan bahwa etilasetat bersifat lebih polar dibandingkan kloroform atau lebih
tepatnya bersifat semi polar. Demikian juga
dengan penambahan isopropanol (9:1) pada etil asetat dapat menarik
larutan tersebut ke arah polar ternyata
menjadikan morfin yang berada pada keadaan isoelektrik menjadi lebih banyak tertarik ke dalam fase organik
tersebut.
Batas deteksi yang dihitung secara
statistik pada taraf 95 % tidak berbeda nyata dan dapat diterima. Berdasarkan perhitungan
ternyata bahwa morfin mempunyai batas deteksi
18,02 ng, sedangkan berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh batas
deteksi sebesar 15 ng. Perolehan batas deteksi baik secara perhitungan maupun
percobaan adalah valid, sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada literatur
(Moffat, 2002). Literatur menunjukkan
bahwa batas deteksi untuk KLT yang dianalisis dengan spektrofotodensitometer
dengan sistem absorbansi berada pada rentang 10-100 ng. Perolehan pengukuran
dengan spektrofoto-densitometer yang digunakan masih memiliki sensitivitas baik terbukti dapat menghasilkan
suatu pengukuran yang valid. Perbedaan
hasil pengukuran alat dengan perhitungan tidaklah terlalu besar
mengingat perbedaan dalam skala nanogram.
Persentase perolehan kembali kadar morfin
dalam urin simulasi adalah 92,31 ; 93,14 ; dan 89,68 % dengan simpangan baku
dan koefisien variasi masing-masing sebesar 2,55 dan 2,78.
BAB II
PENUTUP
kesimpulan
Simpulan berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa pelarut
pengembang yang sesuai untuk morfin adalah toluena:aseton:etanol:amonia
dengan perbandingan 45:45:7:3 dan panjang gelombang maksimum adalah 287 nm.Persamaan garis regresi morfin diperoleh y = -69,21 +
8,06x dengan r = 0,992 dengan jumlah morfin yang ditotolkan secara seri
20,40,60,80,100, dan 120 ng. Batas
deteksi adalah 18,02 ng dan perolehan kembali morfin sebesar 90,91 %.
Saran
Lebih
lanjut, perlu dilakukan penelitian tentang sampel urin dalam morfin dan turunannya untuk memperoleh pemisahan yang
optimum.
DAFTAR PUSTAKA
ü Anonim,
2002, Data Pasien NAPZA di Propinsi Bali, Departemen Kesehatan Denpasar.
ü Lowry,
W.T. and Garriot, J.C., 1979, Forensic Toxicology Controlled Substances
and Dangerous Drugs, New York; Plenum Press, 302-303.
ü Moffat,
A.C., 2002, Clark’s Isolation and Identification
of Drugs in Pharmaceuticals, Body Fluids
and Post Mortem Material, London: The Pharmaceutical Press, 2nd., 10,11,167
ü Sujudi,
Adhyatma, Slamet Susilo, dan Wisnu Katim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
ü WHO,
1988, The International Pharmacopoeia, 3thEd., 3, Geneva.
Langganan:
Postingan (Atom)